animasi

Kamis, 14 Mei 2020

Sejarah Kota Yogyakarta


1. Pembentukan Awal Kota Yogyakarta.
Berdirinya kota Yogyakarta berawal dari dibangunnya Keraton Yogyakarta. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Menurut Paeni (2009:264) menyatakan bahwa “Keraton Yogyakarta Hadiningrat ini di bangun pada tahun 1755 oleh Hamengkubuwono I yang bertahta di yogya atas setengah kerajaan mataram sebagai akibat dari perjanjian giyanti”. Perjanjian Giyanti tersebut berlangsung pada tanggal 13 Maret 1755, antara Pangeran Mangkubumi, Pakubuwono dan pihak Kompeni (Nurhajirini, 2012:9). Mangkubumi kemudian memproklamasikan bahwa separuh dari kerajaan Mataram yang dikuasainya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan beribukota Ngayogyakarta. Yang memiliki arti masyarakat yang tinggal di Ngayogyakarta ini sebagai orang yang berakhlak baik dan berhati tulus (nurhajirini, 2012:9). Menurut Paeni (2009:264) menyatakan bahwa” beliau adalah orang yang sangat cerdas dan berpengetahuan yang sangat luas, lima belas tahun sebelumnya ia pernah terlibat dalam pembangunan keraton Surakarta hadiningrat”. Maka ketika ia menjadi sultan, ia merencanakan suatu susunan perumahan yang mencerminkan struktur social di bwah kedaulatan yang baru. Raja adalah pusat dan satu-satunya sumber kekuatan, dalam keratin ia dikelilingi oleh keluarga dan kerabat dekatnya. Lapisan berikutnya adalah para abdi setia yang terpilih dan baru di luar itu orang kebanyakan. Menurut Aris (2013)  akan menjelaskan tentang tempat atau lokasi awal sebelum dibangunnya keraton Yogyakarta, yaitu sebagai berikut.
 Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Dalam pembangunan keraton ini tidak hanya langsung dibuat begitu saja, tetapi ternyata pembangunanya juga menggunakan berbagai pertimbangan menyangkut aspek strategis, keamanan, dan social budaya (Nurhajirini, 2012:10). Hal ini dilakukan karena melihat kenyataan bahwa keraton Surakarta yang dengan mudah dapat jatuh ketangan musuh yang disebabkan karena tidak memiliki benteng pertahanan yang kuat. Adapun letak keraton yang diapit oleh dua kembangan persungai mempunyai aspek teknis bagi pertanian juga mempercepat resapan air hujan serta menguntungkan bagi pemuatan drainase, sehingga bahaya banjir tidak akan terjadi. Menurut Nurkajirini (2012:11) menyatakan bahwa.
Seting lokasi keraton secara filosofis merupakan keseimbangan hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan. Dalam hal ini terdapat terdapat lima anasir pembentukan, yakni api, dari gunung merap, tanah dari keraton ngayogyakarta, air dari laut selatan, serta angina dan angkasa. Konsep symbol ini merupakan konsep filosofi sangkan paraning dumadi (asal mulanya penciptaan) dan manunggaling kawula gusti (manunggalnya kawula dan raja).
Dalam folosofis itu adalah panggung krapyak-keraton-tugu pal pituh. Sedangkan dalam konsep agama islam, sumbu filosofis itu mengandung arti konsep hubungan antara manusia dengan tuhan dan konsep manusia dengan sesamanya. Tempat-tempat dalam satu sumbu filosofis itu merupakan lokasi-lokasi yang penting dalam struktur kebudayaan keraton dan masyarakat. Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Bertahtanya sultan hamengkubuwono I di kesiltanan Yogyakarta ini menjadi ciri lahirnya sebuah era kesulatan penerus Dinasti Mataram. Menurut Nurhajirini (2012:15) menyatakan bahwa
Sri Sultan Hamengkubuwono I kemudian memerintahkan untuk membangun berbagai kampong disekitar keratin sebagai tempat tinggal para abdi dalem, prajurit dan sebagainya. Pada mulanya pembangunan kampung tempat tinggal ini  dilaksanakan di dalam benteng keraton, akan tetapi karena luas lahannya tidak mencukupi maka ditempatkan diluar benteng keraton dengan formasi tapal kuda.
 Brokrasi pemerintahan disusun secara hirarkis dari pusat daerah melaui pusat pejabat yang diangkat untuk melaksanakan tugas pemerintahan kerajaan. Dan akhirnya Yogyakarta mampu berkembang menjadi salah satu pusat kebudayaan Indonesia yang modern yang berlangsung hingga saat ini.

2. KONDISI GEOGRAFIS KOTA YOGYAKARTA                                
a. Batas Wilayah
     
       Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY dengan batas-batas wilayah, menurut Colombijn (2005:31-32) menyatakan bahwa:
Sebelah utara : Kabupaten Slema
n.
Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Slema
n.
Sebelah selatan : Kabupaten Bantul
.
Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman
.
            Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 1100 240190 sampai 110o 280 530 Bujur Timur dan 070 150 240 sampai 070 490 260 Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan air laut (Colombijn , 2005:31-32).
b. Keadaan Alam.
     
       Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat. Di tengah wilayah kota tersebut mengalir 3 (tiga) buah sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :
      Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
.
      Bagian tengah adalah Sungai Code
.
      Sebelah barat adalah Sungai Winongo
(Colombijn , 2005:31).

c. Luas Wilayah.
Daerah keraton yogyakara merupakan daerah yang luas, yang mengalami proses perubahan semenjak didirikannya kota tersebut hingga sekarang. Menurut Colombijn (2005:31-32) menjelaskan kondisi yogyakarta antara lain.
Secara keseluruhan kota Yogyakarta berada di daerah dataran lereng gunung merapi, dengan keiringan yang relative datar (antara 0-3%) dan pada ketinggian 114m diatas permukaan air laut. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah 32,50 km2. Dengan luas 32,50 km2  tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW (rukun warga), dan 2.532 RT (rukun tetangga), serta dihuni oleh 489.000 jiwa (data per Desember 1999) dengan kepadatan rata-rata 15.000 jiwa/Km² .
Kedudukan kota Yogyakarta sejak kemerdakaan hingga masa kini yaitu menjadi ibu kota Provinsi  daerah istimewa Yogyakarta yang di pimpin oleh Gubernur, dan masa kini dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono X.
d. Tipe Tanah.
      Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan.  Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)
(Risma, 2012).
e. Iklim
      Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%
(Risma, 2012).  Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220°  bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam (Risma, 2012).
3. Ruang-Ruang Yang Terkait Pada Keraton Yogyakarta.
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Nurhajarini (2012:39-40) menyatakan bahwa “tatkala pembangunan keraton dimulai Sultan Hamengku Buwono I masih berada di pesanggrahan Gamping atau pesanggrahan Ambarketawang (5 km di sebelah barat keraton). Pada tanggal 7 Oktober 1756, sultan berkenan memasuli keraton dan kemudian ditandai dengan sengkalan dwi naga rasa tunggal”. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Kota sebagai pusat kerajaan dibangun berdasarkan konsep tradisional yang diwarisi dari masa sebelumnya (Nurhajarini, 2012:41). Selanjutnya pola konsentris tata ruang kota demikian mewarnai tata ruang kota kerajaan islam di Jawa, termasuk Yogyakarta. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).
Banyak yang mengatakan bahwasannya tata ruang maupun tempat dari keraton Yogyakarta banyak yang memilki makna filosofi tersendiri. Berawal dari sumbu lokasi bangunan yang menghubungkan Parangkusumo, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu dan Gunung Merapi berada pada satu garis lurus atau poros yang membujur Selatan ke Utara. Sementara itu ada yang mengatakan bahwa garis yang membujur Selatan-Utara tersebut sebagai “Poros Imaginer” dari dunia kebudayaan. Namun pendapat ini tidak disetuui oleh Otto Sumarwoto. Kerena beliau dapat membuktikan secara ilmiah tentang adanya garis lurus tersebut. Beliau mengatakan bahwa arah poros Selatan-Utara ini sebagai “Poros Simbolik Filosofis” Selatan Utara dari keratin Yogyakarta. Sekaligus manjadi arah awal pertumbuhan kota, yang kemudian disusul dengan arah Timur-Barat ketika jaringan trasportasi berkembang sejak abad ke 19 (Colombijn, 2005:34).
Seperti yang dikatakan oleh Colombijn (2005:34),” lurus dengan keraton dan jalan raya Malioboro terdapat tugu yang disebut sebagai “Tugu Golong-Giling”, yang memiliki makna simbolis dari konsep manunggaling kawulo-gusti, yaitu konsep persatuan antara rakyat dan raja dalam perjuangan melawan Belanda”. Selain tempat-tempat tersebut yang memiliki makna filosofi ada juga tempat – tempat lain yang memiliki makna filosofi diantarannya:
3.1 Alun-Alun.
Alun-alun merupakan suatu tempat atau ruang terbuka yang bisa digunakan sebagai fasilitas umum. Keberadaan alun-alun sebagai simbol otokrasi Jawa Kuno dengan pola tata kota feodal. Alun-alun akan jadi jantung kota, karena untuk pola tata kota otokrasi Jawa Kuno alun-alun selalu berhadapan dengan kraton, rumah tinggal adipati atau bupati. Bagi masyarakat Jawa alun-alun melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009).
Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu kota di Jawa.  Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau. Di masa lalu sejak jaman Majapahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai dalem ageng diibaratkan sebagai puncak Mahamer egara agung dinamakan kawasan mancanegara (luar daerah). Di masa lalu alun-alun di u (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut negara agung (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar n Yogyakarta terbagi menjadi dua yaitu, alun-alun lor dan alun-alun kidul.
a. Alun-alun Lor                     
Alun-alun Lor adalah sebuah lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta. Menurut Sugiyanto (2011) menyatakan sebagai berikut.
Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya.
Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Sugiyanto, 2011). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Sugiyanto, 2011).
Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum. Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan di tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" saat Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah. Pegawai/abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil. Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran. Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
 b. Alun-alun Kidul                                 
Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Menurut Brian menyatakan bhwa “dua pohon beringin ditengah-tengah alun-alun ini menggambarkan bahagian badan yang paling rahasia, sehingga diberi pagar batu. Disekitar alun-alun ini terdapat lima buah jalan yang bersatu satu sama lain, menunjukkan pancaindra”. Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok (dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.
3.3. Masjid Gedhe Kasultanan.
Setiap kompleks keraton di Jawa sudah tentu dibangun pula sebuah masjid. Masjid adalah tempat sujud artinya tempat orang bersembahyang menurut peraturan islam (Soekmono, 1973:75). Pada dasarnya masjid masjid digunakan untuk menunaikan ibadah termasuk salat, dan juga menjadi pusat kegiatan dan kehidupan masyarakatnya misalnya sebagai sarana pendidikan, sarana sosiaisasi dan tempat berunding. Masjid yang tertua di Yogyakarta adalah bernama Masjid Gedhe Kasultanan.
Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Didirikannya masjid gedhe disebelah alun-alun ini memiliki maksud tertentu. Menurut Soekmono (1973:78) menyatakan maksud letak masjid antar lain sebagai berikut.
Yaitu kalau alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat kepada raja, walaupun secara tidak langsung. Maka masjid adalah tempat bersatunya raja dengan rakyat sebagai sesama makhluk ilahi. Disini mereka melaksanakan kewajiban mereka, yaitu sembahyang dibawah pimpinan seorang imam. Maka dalam di alun-alunlah raja itu bertemu dengan rakyatnya.
Sehingga dari penjelasan Soekmono masjid ini sebagai tempat bertemunya dan berinteraksinya raja dengan masyarakatnya. Adapun tempat sembahyang lima waktu yang biasanya digunakan sehari-hari disamping masjid, yaitu dinamakan langgar atau surau. Dalam pokoknya masjid dan surau itu memiliki bentuk dan susunan yang sama yaitu sebuah bangunan yang melingkupi sebuah ruangan bujur sangkar dengan sebuah serambi didepannya. Arsitektur bangunan induk masjid ini berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Menurut Sartono (2012) menyatakan bahwa “tiga tingkatan yang demikian itu dipercaya merupakan simbolisasi dari syariat, tarekat, dan hakekat. Atas dianggap sebagai Sedangkan bagian paling lambang makrifat. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Maksura ( tempat pengamanan sholat raja ) letaknya di samping kiri belakang mihrab, terbuat dari kayu jati bujur sangkar, beram kotak-kotak, di samping kanan dan kiri terdapat tempat tombak dan di dalamnya berlantai marmer lebih tinggi dari yang di luar.Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Selain digunakan untuk melaksanakan ibadah masjid ini juga digunakan untuk pelaksanaan upacara adat keraton seperti Grebeg Sawal, mulud dan grebeg besar, yang selalu diminati oleh masyarakat hingga sekarang (Nurhajarini, 2012:42). Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi.
Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid
 Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan ( Pa= tempat, Gong= salah satu instrumen alat musik Jawa Gamelan) (darban:2009). Tempat ini digunakan sebagai tempat peralatan dakwah dengan pendekatan kultural yaitu Gamelan Sekaten, yang dibunyikan pada setiap peringatan Maulid nabi Muhammad Saw. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.
3.4. Pasar Bering Harjo
Pasar merupakan tempat jual beli barang atau pusat perdagangan segala kebutuhan penting sehari-hari. Pasar Bering Harjo merupakan salah satu pusat ekonomi Kesultanan Yogyakarta pada zamannya. Pasar ini tidak lepas dari susunan kompleks bangunan keraton Yogyakarta yang tidak jauh berbeda dengan susunan kompleks keraton lama seperti Kotagede, Kartasura, Surakarta, dan lain-lain. Keraton yang dibangun dengan konsep catur gatra tersebut memiliki empat komponen utama yakni keraton, alun-alun, masjid dan pasar (Nurhajarini, 2009:43). Keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai pusat ruang publik, masjid sebagai ruang religi dan pasar sebagai ruang ekonomi. Menurut Indra (2011) menyatakan bahwa “secara penempatan, Pasar Beringharjo berada di bagian luar bangunan Keraton Yogyakarta (njobo keraton), tepatnya di utara Alun-alun Utara. Wilayah ini kemudian dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Pasar yang telah berkali-kali dipugar ini melambangkan satu tahapan kehidupan manusia yang masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan ekonominya.
Wilayah Pasar Beringharjo mulanya merupakan hutan beringin. Tak lama setelah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tepatnya tahun 1758, wilayah pasar ini dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Ratusan tahun kemudian, pada tahun 1925, barulah tempat transaksi ekonomi ini memiliki sebuah bangunan permanen. menurut Rama (2013) menyatakan bahwa “Pasar Beringharjo memiliki luas hingga 2,5 hektar”. Nama Beringharjo sendiri diberikan oleh Hamengku Buwono IX, artinya wilayah yang semula pohon beringin (bering) diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (harjo) (Indra:2011). Sekalipun pasar tradisional namun bagi masyarakat Yogyakarta, pasar ini tidak mungkin akan tergusur oleh kehadiran banyak mall-mall yang kini bermunculan di Yogja. Keberadaannya justru semakin menegaskan kekhasan Yogja sebagai kota yang klasik, romantis namun tidak ketinggalan zaman. Pasar ini memiliki sejarah yang cukup panjang di dalam perkembangan kota Yogyakarta sendiri.
Bagian depan dan belakang bangunan pasar sebelah barat merupakan tempat yang tepat untuk memanjakan lidah dengan jajanan pasar. Banyak sekali makanan yang dijual disini, dari makanan tradisional Indonesia sampai makanan ringan yang diproduksi perusahaan besar, yaitu terlihat deretan makanan dari ujung utara hingga selatan. Koleksi batik kain dijumpai di los pasar bagian barat sebelah utara. Berjalan ke lantai dua pasar bagian timur merupakan pusat penjualan bahan dasar jamu Jawa dan rempah-rempah. Sedangkan di lantai tiga bagian timur merupakan tempat menjual barang-barang antik.
Meski pasar resmi tutup pukul 17.00 WIB, tetapi dinamika pedagang tidak berhenti pada jam itu. Bagian depan pasar masih menawarkan berbagai macam panganan khas (Indra:2011). Dengan adanya Pasar Beringharjo  telah membawa perubahan yang cukup berarti dalam hal ekonomi seperti  mata pencaharian penduduk sekitar Pasar Beringharjo. Melihat dari segi perkembangan perekonomian yang akan dibawa dengan adanya Pasar Beringharjo di daerah Yogyakarta, perekonomian yang terjadi pada masyarakat sekitar maupun dari pedagang secara berkala pasti akan mengalami perkembangan. Hal ini akan membawa dampak yang lebih luas lagi pada pedapatan daerah Yogyakarta. Memandang dari bentuk proses yang terjadi, keterbukaan serta peran serta masyarakat dalam menanggapi adanya wacana sarana baru ini juga akan mengubah cara pandang masyarakat mengenai interaksi yang terjadi diantara pengunjung maupun masyarakat sekitar. Pengunjung Pasar Beringharjo yang tidak hanya berasal dari Yogyakarta namun juga dari mancanegara yang akan membawa dampak berupa kemampuan yang harus dimiliki oleh masyarakat sekitar, seperti  menuntut mereka untuk berlatih bahasa asing atau secara umum bahasa Inggris (Indra:2011).
3.5 Pesanggrahan  Taman Sari                                   
a. Sejarah dan Arti Bangunan Taman Sari
            Bangunan taman sari merupakan bangunan yang dibangun pada masa kesultanan Hamengkubuono I. Cerita tentang pembangunan pesanggrahan taman sari ada dua macam. Adapaun cerita pertamanya adalah srebagai berikut:
Bahwa semasa yang memegang tampuk pimpinan keratin ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengkubuono II di daerah Mancingan di pantai selatan daerah Yogyakarta, terdapat orang tiban ialah orang asing tang tahu-tahu tanpa diketahui asal usulnya terdapat di pantai selatan Yogyakarta. Masyarakat didaerah sekitarnta tidak mengetahui bahsa yang digunakannya oleh karna itu ada yang mengira dia adalah jin atau penghui hutan,. Kemudian masyarakat setempat membawa orng tersebut kepada Sri Sultan HB II. Setelah lama mengabdi akhirnya ia mampu berbahasa jawa dan mengatakan bahwa ia bersal dari portugis dan pekerjaannya mengepalai pembuatan bangunan. Pada dasarnaya bangunan ini bangunan yang digunakan untuk bercengkrama, atau hanya tempat untuk berekreasi saja. Namun meliahat dari segi bangunannya yang didalamnya terdapat lorong – lorong dalam tanah mungkin bangunan ini dulunya bukan hanya sebagi taman untuk menghibur diri tapi bisa juga untuk bersembunyi. Seperti yang di katakan oleh Sukirman 1981-1982:12.
Apabila diteliti dengan seksama wujudan Pesanggrahan Taman Sari tidak meninggalkan ungkapan bahsa jawa yang berbunyi  : sakjroning among suka, tan tinggal duka lan prayoga yang berati “sewaktu orang bersuka ria, seyognya tidak boleh lengah akan datangnya mara bahaya, jadi harus waspada”. Sebab setelah kita bersuka ria yang tidak terbatas itu akan menimbulkan suatu kesusahan. Namum kalau kita perhatikan taman ini tidak hanya digunakan sebagi taman untuk bersenag – senag saja. Tapi dapat kita temui bahwa didalam bangunan ini juga terdapat “urung – urung” atau jalan bawah tanah, pulo cemethi yang berfungsi untuk tempat peninjauan apabila ada musuh, dan jembatan gantung, dari sini dapat terlihat dengan elas bahwa tamn ini bukan hanya sekedar untuk bercengkrama saja.
b. Fungsi Bangunan Pesanggrahan Taman Sari
a)     Taman Sari sebagi tempat rekreasi keluarga kerajaan.
Disinilah Raja bersama keluarganya bersenang – senang mengahabiskanwaktu untuk berenang dipemandian dan juga bermeditasi. Selain Raja, Ratu dan juga selir – selirnya sering menghabiskan waktu ditempat ini. Fungsi taman sari sebagi tempat rekreasi ini sangat terlihat, karena terdapat beberapa kolam pemandian, kamar – kamar dan juga kebun dan taman.
b)     Taman Sari sebagi benteng pertahanan.
Taman sari dibangun juga berfungsi sebagi benteng perthanan. Di Taman Sari inilah raja melakukan meditasi, menyusun statregi perang, dan berlatih. Tempat ini dilengkapi dengan benteng pertahanan, menara pengawas dan tak kalah pentingnya adalah lorong – lorong bawah tanah.

3.5. Panggung Krapyak.
                                           
Panggung krapyak dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I dan saat ini merupakan benda cagar budaya. Bangunan ini berada  di sebelah selatan Keraton dan menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta.Panggung krapyak erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Keraton Kesultanan Yogyakarta. Panggung krapyak merupakan salah satu bangunan yang berada pada sumbu filosofis utara-selatan dengan keraton sebagai pusatnya. Menurut Nurhajarini (2012:12) menjelaskan sebagai berikut.
Dalam sumbu filsofis itu adalah panggung krapyak-keraton-tugu pal putih. Panggung krapyak merupakan simpul yang berada selatan jika diteruskan akan sampai ke pantai selatan samudera hindia. Dari tugu pal putih jika diteruskan ke utara akan sampai ke gunung merapi. Sumbu filosofis ini mengndung arti manunggaling kawula gusti atau bersatunya rakyat dengan rajanya.
Panggung krapyak merupakan sebuah podium dari batu bata dengan tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya mencapai 1 m. Bangunan ini memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu di bagian dalam. Atap bangunan dibuat datar dengan pagar pembatas di bagian tepinya. Untuk mencapainya tersedia tangga dari kayu di bagian barat laut. Bangunan bertingkat ini disekat menjadi 4 buah ruang. Fungsi bangunan ini pada masa lalu adalah untuk tempat beristirahat sultan beserta keluarganya dan pengiringnya sewaktu berburu kijang, rusa atau hewan buruan lainnya di hutan. Hutan tersebut berada disebelah sebelah selatan panggung. Kijang-kijang yang berada di hutan dipelihara dan pada waktu-waktu tertentu kijang itu digiring (krapyak). Bangunan ini lebih mirip dengan gerbang kemenangan, Triumph d’Arc. Kondisinya sempat memprihatinkan akibat gempa bumi tahun 2006 sebelum akhirnya direnovasi. Setelah renovasi bangunan ini diberi pintu besi sehingga orang-orang tidak dapat masuk kedalamnya.
Dalem Kepatihan
Dalem Kepatihan merupakan tempat kediaman resmi (Official residence) sekaligus kantor Pepatih Dalem. Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan kegiatan pemerintahan sehari-hari kerajaan. Dahulu tempat ini merupakan kompleks tempat tinggal Patih Danuharjo yaitu Patih Keraton Yogyakarta. Kompleks ini cukup luas dan memiliki susunan ruang sama dengan rumah para bangsawan tinggi bahkan dapat dikatakan sebagai miniatur dari keraton sultan. Dalem kepatihan sekarang digunakan sebagai kantor Gubernur Propinsi DIY, yang terletak di Jalan Malioboro, di sebelah utara pasar Beringharjo (Nurhajarini, 2012:45). Sejak tahun 1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan Yogyakarta ini menjadi kompleks kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan PemProv DIY. Selain Pendopo Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong Wilis (kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai gedung pengadilan Bale Mangu, sebuah badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan umum), dan Masjid Kepatihan. Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan Malioboro.