animasi

Kamis, 14 Mei 2020

Sejarah Kota Yogyakarta


1. Pembentukan Awal Kota Yogyakarta.
Berdirinya kota Yogyakarta berawal dari dibangunnya Keraton Yogyakarta. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Menurut Paeni (2009:264) menyatakan bahwa “Keraton Yogyakarta Hadiningrat ini di bangun pada tahun 1755 oleh Hamengkubuwono I yang bertahta di yogya atas setengah kerajaan mataram sebagai akibat dari perjanjian giyanti”. Perjanjian Giyanti tersebut berlangsung pada tanggal 13 Maret 1755, antara Pangeran Mangkubumi, Pakubuwono dan pihak Kompeni (Nurhajirini, 2012:9). Mangkubumi kemudian memproklamasikan bahwa separuh dari kerajaan Mataram yang dikuasainya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan beribukota Ngayogyakarta. Yang memiliki arti masyarakat yang tinggal di Ngayogyakarta ini sebagai orang yang berakhlak baik dan berhati tulus (nurhajirini, 2012:9). Menurut Paeni (2009:264) menyatakan bahwa” beliau adalah orang yang sangat cerdas dan berpengetahuan yang sangat luas, lima belas tahun sebelumnya ia pernah terlibat dalam pembangunan keraton Surakarta hadiningrat”. Maka ketika ia menjadi sultan, ia merencanakan suatu susunan perumahan yang mencerminkan struktur social di bwah kedaulatan yang baru. Raja adalah pusat dan satu-satunya sumber kekuatan, dalam keratin ia dikelilingi oleh keluarga dan kerabat dekatnya. Lapisan berikutnya adalah para abdi setia yang terpilih dan baru di luar itu orang kebanyakan. Menurut Aris (2013)  akan menjelaskan tentang tempat atau lokasi awal sebelum dibangunnya keraton Yogyakarta, yaitu sebagai berikut.
 Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Dalam pembangunan keraton ini tidak hanya langsung dibuat begitu saja, tetapi ternyata pembangunanya juga menggunakan berbagai pertimbangan menyangkut aspek strategis, keamanan, dan social budaya (Nurhajirini, 2012:10). Hal ini dilakukan karena melihat kenyataan bahwa keraton Surakarta yang dengan mudah dapat jatuh ketangan musuh yang disebabkan karena tidak memiliki benteng pertahanan yang kuat. Adapun letak keraton yang diapit oleh dua kembangan persungai mempunyai aspek teknis bagi pertanian juga mempercepat resapan air hujan serta menguntungkan bagi pemuatan drainase, sehingga bahaya banjir tidak akan terjadi. Menurut Nurkajirini (2012:11) menyatakan bahwa.
Seting lokasi keraton secara filosofis merupakan keseimbangan hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan. Dalam hal ini terdapat terdapat lima anasir pembentukan, yakni api, dari gunung merap, tanah dari keraton ngayogyakarta, air dari laut selatan, serta angina dan angkasa. Konsep symbol ini merupakan konsep filosofi sangkan paraning dumadi (asal mulanya penciptaan) dan manunggaling kawula gusti (manunggalnya kawula dan raja).
Dalam folosofis itu adalah panggung krapyak-keraton-tugu pal pituh. Sedangkan dalam konsep agama islam, sumbu filosofis itu mengandung arti konsep hubungan antara manusia dengan tuhan dan konsep manusia dengan sesamanya. Tempat-tempat dalam satu sumbu filosofis itu merupakan lokasi-lokasi yang penting dalam struktur kebudayaan keraton dan masyarakat. Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Bertahtanya sultan hamengkubuwono I di kesiltanan Yogyakarta ini menjadi ciri lahirnya sebuah era kesulatan penerus Dinasti Mataram. Menurut Nurhajirini (2012:15) menyatakan bahwa
Sri Sultan Hamengkubuwono I kemudian memerintahkan untuk membangun berbagai kampong disekitar keratin sebagai tempat tinggal para abdi dalem, prajurit dan sebagainya. Pada mulanya pembangunan kampung tempat tinggal ini  dilaksanakan di dalam benteng keraton, akan tetapi karena luas lahannya tidak mencukupi maka ditempatkan diluar benteng keraton dengan formasi tapal kuda.
 Brokrasi pemerintahan disusun secara hirarkis dari pusat daerah melaui pusat pejabat yang diangkat untuk melaksanakan tugas pemerintahan kerajaan. Dan akhirnya Yogyakarta mampu berkembang menjadi salah satu pusat kebudayaan Indonesia yang modern yang berlangsung hingga saat ini.

2. KONDISI GEOGRAFIS KOTA YOGYAKARTA                                
a. Batas Wilayah
     
       Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY dengan batas-batas wilayah, menurut Colombijn (2005:31-32) menyatakan bahwa:
Sebelah utara : Kabupaten Slema
n.
Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Slema
n.
Sebelah selatan : Kabupaten Bantul
.
Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman
.
            Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 1100 240190 sampai 110o 280 530 Bujur Timur dan 070 150 240 sampai 070 490 260 Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan air laut (Colombijn , 2005:31-32).
b. Keadaan Alam.
     
       Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat. Di tengah wilayah kota tersebut mengalir 3 (tiga) buah sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :
      Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
.
      Bagian tengah adalah Sungai Code
.
      Sebelah barat adalah Sungai Winongo
(Colombijn , 2005:31).

c. Luas Wilayah.
Daerah keraton yogyakara merupakan daerah yang luas, yang mengalami proses perubahan semenjak didirikannya kota tersebut hingga sekarang. Menurut Colombijn (2005:31-32) menjelaskan kondisi yogyakarta antara lain.
Secara keseluruhan kota Yogyakarta berada di daerah dataran lereng gunung merapi, dengan keiringan yang relative datar (antara 0-3%) dan pada ketinggian 114m diatas permukaan air laut. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah 32,50 km2. Dengan luas 32,50 km2  tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW (rukun warga), dan 2.532 RT (rukun tetangga), serta dihuni oleh 489.000 jiwa (data per Desember 1999) dengan kepadatan rata-rata 15.000 jiwa/Km² .
Kedudukan kota Yogyakarta sejak kemerdakaan hingga masa kini yaitu menjadi ibu kota Provinsi  daerah istimewa Yogyakarta yang di pimpin oleh Gubernur, dan masa kini dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono X.
d. Tipe Tanah.
      Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan.  Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)
(Risma, 2012).
e. Iklim
      Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%
(Risma, 2012).  Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220°  bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam (Risma, 2012).
3. Ruang-Ruang Yang Terkait Pada Keraton Yogyakarta.
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Nurhajarini (2012:39-40) menyatakan bahwa “tatkala pembangunan keraton dimulai Sultan Hamengku Buwono I masih berada di pesanggrahan Gamping atau pesanggrahan Ambarketawang (5 km di sebelah barat keraton). Pada tanggal 7 Oktober 1756, sultan berkenan memasuli keraton dan kemudian ditandai dengan sengkalan dwi naga rasa tunggal”. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Kota sebagai pusat kerajaan dibangun berdasarkan konsep tradisional yang diwarisi dari masa sebelumnya (Nurhajarini, 2012:41). Selanjutnya pola konsentris tata ruang kota demikian mewarnai tata ruang kota kerajaan islam di Jawa, termasuk Yogyakarta. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).
Banyak yang mengatakan bahwasannya tata ruang maupun tempat dari keraton Yogyakarta banyak yang memilki makna filosofi tersendiri. Berawal dari sumbu lokasi bangunan yang menghubungkan Parangkusumo, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu dan Gunung Merapi berada pada satu garis lurus atau poros yang membujur Selatan ke Utara. Sementara itu ada yang mengatakan bahwa garis yang membujur Selatan-Utara tersebut sebagai “Poros Imaginer” dari dunia kebudayaan. Namun pendapat ini tidak disetuui oleh Otto Sumarwoto. Kerena beliau dapat membuktikan secara ilmiah tentang adanya garis lurus tersebut. Beliau mengatakan bahwa arah poros Selatan-Utara ini sebagai “Poros Simbolik Filosofis” Selatan Utara dari keratin Yogyakarta. Sekaligus manjadi arah awal pertumbuhan kota, yang kemudian disusul dengan arah Timur-Barat ketika jaringan trasportasi berkembang sejak abad ke 19 (Colombijn, 2005:34).
Seperti yang dikatakan oleh Colombijn (2005:34),” lurus dengan keraton dan jalan raya Malioboro terdapat tugu yang disebut sebagai “Tugu Golong-Giling”, yang memiliki makna simbolis dari konsep manunggaling kawulo-gusti, yaitu konsep persatuan antara rakyat dan raja dalam perjuangan melawan Belanda”. Selain tempat-tempat tersebut yang memiliki makna filosofi ada juga tempat – tempat lain yang memiliki makna filosofi diantarannya:
3.1 Alun-Alun.
Alun-alun merupakan suatu tempat atau ruang terbuka yang bisa digunakan sebagai fasilitas umum. Keberadaan alun-alun sebagai simbol otokrasi Jawa Kuno dengan pola tata kota feodal. Alun-alun akan jadi jantung kota, karena untuk pola tata kota otokrasi Jawa Kuno alun-alun selalu berhadapan dengan kraton, rumah tinggal adipati atau bupati. Bagi masyarakat Jawa alun-alun melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009).
Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu kota di Jawa.  Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau. Di masa lalu sejak jaman Majapahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai dalem ageng diibaratkan sebagai puncak Mahamer egara agung dinamakan kawasan mancanegara (luar daerah). Di masa lalu alun-alun di u (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut negara agung (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar n Yogyakarta terbagi menjadi dua yaitu, alun-alun lor dan alun-alun kidul.
a. Alun-alun Lor                     
Alun-alun Lor adalah sebuah lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta. Menurut Sugiyanto (2011) menyatakan sebagai berikut.
Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya.
Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Sugiyanto, 2011). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Sugiyanto, 2011).
Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum. Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan di tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" saat Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah. Pegawai/abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil. Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran. Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
 b. Alun-alun Kidul                                 
Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Menurut Brian menyatakan bhwa “dua pohon beringin ditengah-tengah alun-alun ini menggambarkan bahagian badan yang paling rahasia, sehingga diberi pagar batu. Disekitar alun-alun ini terdapat lima buah jalan yang bersatu satu sama lain, menunjukkan pancaindra”. Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok (dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.
3.3. Masjid Gedhe Kasultanan.
Setiap kompleks keraton di Jawa sudah tentu dibangun pula sebuah masjid. Masjid adalah tempat sujud artinya tempat orang bersembahyang menurut peraturan islam (Soekmono, 1973:75). Pada dasarnya masjid masjid digunakan untuk menunaikan ibadah termasuk salat, dan juga menjadi pusat kegiatan dan kehidupan masyarakatnya misalnya sebagai sarana pendidikan, sarana sosiaisasi dan tempat berunding. Masjid yang tertua di Yogyakarta adalah bernama Masjid Gedhe Kasultanan.
Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Didirikannya masjid gedhe disebelah alun-alun ini memiliki maksud tertentu. Menurut Soekmono (1973:78) menyatakan maksud letak masjid antar lain sebagai berikut.
Yaitu kalau alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat kepada raja, walaupun secara tidak langsung. Maka masjid adalah tempat bersatunya raja dengan rakyat sebagai sesama makhluk ilahi. Disini mereka melaksanakan kewajiban mereka, yaitu sembahyang dibawah pimpinan seorang imam. Maka dalam di alun-alunlah raja itu bertemu dengan rakyatnya.
Sehingga dari penjelasan Soekmono masjid ini sebagai tempat bertemunya dan berinteraksinya raja dengan masyarakatnya. Adapun tempat sembahyang lima waktu yang biasanya digunakan sehari-hari disamping masjid, yaitu dinamakan langgar atau surau. Dalam pokoknya masjid dan surau itu memiliki bentuk dan susunan yang sama yaitu sebuah bangunan yang melingkupi sebuah ruangan bujur sangkar dengan sebuah serambi didepannya. Arsitektur bangunan induk masjid ini berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Menurut Sartono (2012) menyatakan bahwa “tiga tingkatan yang demikian itu dipercaya merupakan simbolisasi dari syariat, tarekat, dan hakekat. Atas dianggap sebagai Sedangkan bagian paling lambang makrifat. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Maksura ( tempat pengamanan sholat raja ) letaknya di samping kiri belakang mihrab, terbuat dari kayu jati bujur sangkar, beram kotak-kotak, di samping kanan dan kiri terdapat tempat tombak dan di dalamnya berlantai marmer lebih tinggi dari yang di luar.Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Selain digunakan untuk melaksanakan ibadah masjid ini juga digunakan untuk pelaksanaan upacara adat keraton seperti Grebeg Sawal, mulud dan grebeg besar, yang selalu diminati oleh masyarakat hingga sekarang (Nurhajarini, 2012:42). Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi.
Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid
 Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan ( Pa= tempat, Gong= salah satu instrumen alat musik Jawa Gamelan) (darban:2009). Tempat ini digunakan sebagai tempat peralatan dakwah dengan pendekatan kultural yaitu Gamelan Sekaten, yang dibunyikan pada setiap peringatan Maulid nabi Muhammad Saw. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.
3.4. Pasar Bering Harjo
Pasar merupakan tempat jual beli barang atau pusat perdagangan segala kebutuhan penting sehari-hari. Pasar Bering Harjo merupakan salah satu pusat ekonomi Kesultanan Yogyakarta pada zamannya. Pasar ini tidak lepas dari susunan kompleks bangunan keraton Yogyakarta yang tidak jauh berbeda dengan susunan kompleks keraton lama seperti Kotagede, Kartasura, Surakarta, dan lain-lain. Keraton yang dibangun dengan konsep catur gatra tersebut memiliki empat komponen utama yakni keraton, alun-alun, masjid dan pasar (Nurhajarini, 2009:43). Keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai pusat ruang publik, masjid sebagai ruang religi dan pasar sebagai ruang ekonomi. Menurut Indra (2011) menyatakan bahwa “secara penempatan, Pasar Beringharjo berada di bagian luar bangunan Keraton Yogyakarta (njobo keraton), tepatnya di utara Alun-alun Utara. Wilayah ini kemudian dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Pasar yang telah berkali-kali dipugar ini melambangkan satu tahapan kehidupan manusia yang masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan ekonominya.
Wilayah Pasar Beringharjo mulanya merupakan hutan beringin. Tak lama setelah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tepatnya tahun 1758, wilayah pasar ini dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Ratusan tahun kemudian, pada tahun 1925, barulah tempat transaksi ekonomi ini memiliki sebuah bangunan permanen. menurut Rama (2013) menyatakan bahwa “Pasar Beringharjo memiliki luas hingga 2,5 hektar”. Nama Beringharjo sendiri diberikan oleh Hamengku Buwono IX, artinya wilayah yang semula pohon beringin (bering) diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (harjo) (Indra:2011). Sekalipun pasar tradisional namun bagi masyarakat Yogyakarta, pasar ini tidak mungkin akan tergusur oleh kehadiran banyak mall-mall yang kini bermunculan di Yogja. Keberadaannya justru semakin menegaskan kekhasan Yogja sebagai kota yang klasik, romantis namun tidak ketinggalan zaman. Pasar ini memiliki sejarah yang cukup panjang di dalam perkembangan kota Yogyakarta sendiri.
Bagian depan dan belakang bangunan pasar sebelah barat merupakan tempat yang tepat untuk memanjakan lidah dengan jajanan pasar. Banyak sekali makanan yang dijual disini, dari makanan tradisional Indonesia sampai makanan ringan yang diproduksi perusahaan besar, yaitu terlihat deretan makanan dari ujung utara hingga selatan. Koleksi batik kain dijumpai di los pasar bagian barat sebelah utara. Berjalan ke lantai dua pasar bagian timur merupakan pusat penjualan bahan dasar jamu Jawa dan rempah-rempah. Sedangkan di lantai tiga bagian timur merupakan tempat menjual barang-barang antik.
Meski pasar resmi tutup pukul 17.00 WIB, tetapi dinamika pedagang tidak berhenti pada jam itu. Bagian depan pasar masih menawarkan berbagai macam panganan khas (Indra:2011). Dengan adanya Pasar Beringharjo  telah membawa perubahan yang cukup berarti dalam hal ekonomi seperti  mata pencaharian penduduk sekitar Pasar Beringharjo. Melihat dari segi perkembangan perekonomian yang akan dibawa dengan adanya Pasar Beringharjo di daerah Yogyakarta, perekonomian yang terjadi pada masyarakat sekitar maupun dari pedagang secara berkala pasti akan mengalami perkembangan. Hal ini akan membawa dampak yang lebih luas lagi pada pedapatan daerah Yogyakarta. Memandang dari bentuk proses yang terjadi, keterbukaan serta peran serta masyarakat dalam menanggapi adanya wacana sarana baru ini juga akan mengubah cara pandang masyarakat mengenai interaksi yang terjadi diantara pengunjung maupun masyarakat sekitar. Pengunjung Pasar Beringharjo yang tidak hanya berasal dari Yogyakarta namun juga dari mancanegara yang akan membawa dampak berupa kemampuan yang harus dimiliki oleh masyarakat sekitar, seperti  menuntut mereka untuk berlatih bahasa asing atau secara umum bahasa Inggris (Indra:2011).
3.5 Pesanggrahan  Taman Sari                                   
a. Sejarah dan Arti Bangunan Taman Sari
            Bangunan taman sari merupakan bangunan yang dibangun pada masa kesultanan Hamengkubuono I. Cerita tentang pembangunan pesanggrahan taman sari ada dua macam. Adapaun cerita pertamanya adalah srebagai berikut:
Bahwa semasa yang memegang tampuk pimpinan keratin ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengkubuono II di daerah Mancingan di pantai selatan daerah Yogyakarta, terdapat orang tiban ialah orang asing tang tahu-tahu tanpa diketahui asal usulnya terdapat di pantai selatan Yogyakarta. Masyarakat didaerah sekitarnta tidak mengetahui bahsa yang digunakannya oleh karna itu ada yang mengira dia adalah jin atau penghui hutan,. Kemudian masyarakat setempat membawa orng tersebut kepada Sri Sultan HB II. Setelah lama mengabdi akhirnya ia mampu berbahasa jawa dan mengatakan bahwa ia bersal dari portugis dan pekerjaannya mengepalai pembuatan bangunan. Pada dasarnaya bangunan ini bangunan yang digunakan untuk bercengkrama, atau hanya tempat untuk berekreasi saja. Namun meliahat dari segi bangunannya yang didalamnya terdapat lorong – lorong dalam tanah mungkin bangunan ini dulunya bukan hanya sebagi taman untuk menghibur diri tapi bisa juga untuk bersembunyi. Seperti yang di katakan oleh Sukirman 1981-1982:12.
Apabila diteliti dengan seksama wujudan Pesanggrahan Taman Sari tidak meninggalkan ungkapan bahsa jawa yang berbunyi  : sakjroning among suka, tan tinggal duka lan prayoga yang berati “sewaktu orang bersuka ria, seyognya tidak boleh lengah akan datangnya mara bahaya, jadi harus waspada”. Sebab setelah kita bersuka ria yang tidak terbatas itu akan menimbulkan suatu kesusahan. Namum kalau kita perhatikan taman ini tidak hanya digunakan sebagi taman untuk bersenag – senag saja. Tapi dapat kita temui bahwa didalam bangunan ini juga terdapat “urung – urung” atau jalan bawah tanah, pulo cemethi yang berfungsi untuk tempat peninjauan apabila ada musuh, dan jembatan gantung, dari sini dapat terlihat dengan elas bahwa tamn ini bukan hanya sekedar untuk bercengkrama saja.
b. Fungsi Bangunan Pesanggrahan Taman Sari
a)     Taman Sari sebagi tempat rekreasi keluarga kerajaan.
Disinilah Raja bersama keluarganya bersenang – senang mengahabiskanwaktu untuk berenang dipemandian dan juga bermeditasi. Selain Raja, Ratu dan juga selir – selirnya sering menghabiskan waktu ditempat ini. Fungsi taman sari sebagi tempat rekreasi ini sangat terlihat, karena terdapat beberapa kolam pemandian, kamar – kamar dan juga kebun dan taman.
b)     Taman Sari sebagi benteng pertahanan.
Taman sari dibangun juga berfungsi sebagi benteng perthanan. Di Taman Sari inilah raja melakukan meditasi, menyusun statregi perang, dan berlatih. Tempat ini dilengkapi dengan benteng pertahanan, menara pengawas dan tak kalah pentingnya adalah lorong – lorong bawah tanah.

3.5. Panggung Krapyak.
                                           
Panggung krapyak dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I dan saat ini merupakan benda cagar budaya. Bangunan ini berada  di sebelah selatan Keraton dan menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta.Panggung krapyak erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Keraton Kesultanan Yogyakarta. Panggung krapyak merupakan salah satu bangunan yang berada pada sumbu filosofis utara-selatan dengan keraton sebagai pusatnya. Menurut Nurhajarini (2012:12) menjelaskan sebagai berikut.
Dalam sumbu filsofis itu adalah panggung krapyak-keraton-tugu pal putih. Panggung krapyak merupakan simpul yang berada selatan jika diteruskan akan sampai ke pantai selatan samudera hindia. Dari tugu pal putih jika diteruskan ke utara akan sampai ke gunung merapi. Sumbu filosofis ini mengndung arti manunggaling kawula gusti atau bersatunya rakyat dengan rajanya.
Panggung krapyak merupakan sebuah podium dari batu bata dengan tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya mencapai 1 m. Bangunan ini memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu di bagian dalam. Atap bangunan dibuat datar dengan pagar pembatas di bagian tepinya. Untuk mencapainya tersedia tangga dari kayu di bagian barat laut. Bangunan bertingkat ini disekat menjadi 4 buah ruang. Fungsi bangunan ini pada masa lalu adalah untuk tempat beristirahat sultan beserta keluarganya dan pengiringnya sewaktu berburu kijang, rusa atau hewan buruan lainnya di hutan. Hutan tersebut berada disebelah sebelah selatan panggung. Kijang-kijang yang berada di hutan dipelihara dan pada waktu-waktu tertentu kijang itu digiring (krapyak). Bangunan ini lebih mirip dengan gerbang kemenangan, Triumph d’Arc. Kondisinya sempat memprihatinkan akibat gempa bumi tahun 2006 sebelum akhirnya direnovasi. Setelah renovasi bangunan ini diberi pintu besi sehingga orang-orang tidak dapat masuk kedalamnya.
Dalem Kepatihan
Dalem Kepatihan merupakan tempat kediaman resmi (Official residence) sekaligus kantor Pepatih Dalem. Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan kegiatan pemerintahan sehari-hari kerajaan. Dahulu tempat ini merupakan kompleks tempat tinggal Patih Danuharjo yaitu Patih Keraton Yogyakarta. Kompleks ini cukup luas dan memiliki susunan ruang sama dengan rumah para bangsawan tinggi bahkan dapat dikatakan sebagai miniatur dari keraton sultan. Dalem kepatihan sekarang digunakan sebagai kantor Gubernur Propinsi DIY, yang terletak di Jalan Malioboro, di sebelah utara pasar Beringharjo (Nurhajarini, 2012:45). Sejak tahun 1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan Yogyakarta ini menjadi kompleks kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan PemProv DIY. Selain Pendopo Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong Wilis (kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai gedung pengadilan Bale Mangu, sebuah badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan umum), dan Masjid Kepatihan. Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan Malioboro.

Sabtu, 07 Desember 2013

Metode Penelitian Sejarah



BAB I
PENDAHULUAN


I.1.LATAR BELAKANG
           
Dalam sejarah memang perlu adanya sebuah penelitian, karena sejarah adalah ilmu pengetahuan yang sistematis dari subjek yang pasti adanya.Sebuah penelitian pasti ada objeknya, objek penelitian sejarah adalah manusia, oleh karena itu sejarah termasuk ilmu pengetahuan sosial. Penelitian sejarah sebagaimana  suatu penelitian ilmiah lainnya, yaitu memerlukan data dan prosedur ilmiah . Akan tetapi bedanya penelitian sejarah dengan penelitian yang lain terletak pada objek yang akan diteliti. Objek penelitian sejarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Suatu penelitian yang tanpa didasari dengan metode- metode tertentu, pastilah penelitian itu tidak akan sempurna dan akan menghambat prosesnya.
Sehingga sebelum melakukan penelitian kita harus melihat metode atau langkah dalam melakukan penelitian, jangan langsung melakukan penelitian yang tanpa ada prosedur atau tuntunan untuk melakukan penelitian.Misalnya, jika kita ingin pergi ke suatu tempat, pastilah sebelum berangkat kita harus menyiapkan apa saja kebutuhan yang di perlukan dan bagaimana kita dapat sampai ke tempat tujuan.  Jika tidak pasti orang itu akan bingung dan tersesat.
Maka dari itu diperlukan metode maupun langkah- langkah, sebelum kita melakukan suatu hal.
Metode penelitian adalah suatu pedoman atau cara awal untuk melakukan sebuah penelitian. Metode penelitian sejarah ini sangat diperlukan dalam melakukan penelitian – penelitian yang berhubungan dengan sejarah. Oleh karena itu, masalah – masalah dalam penelitian tersebut harus ditanggulangi dengan adanya metode- metode dalam penelitian sejarah .

I.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas ,masalah yang akan di bahas dalam makalah ini di rumuskan sebagai berikut:

1.     Apa yang dimaksud dengan metode penelitian?
2.     Apa tujuan dilakukannya metode penelitian?
3.     Bagaimana metode atau langkah-langkah dalam penelitian sejarah ?
           

I.3. TUJUAN
           
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, makalah ini bertujuan untuk :

        memudahkan seorang peneliti untuk dapat melakukan penelitian dengan cara atau metode- metode yang tepat, sehingga proses penelitian tersebut berjalan dengan lancar tanpa kendala apapun.
        proses kegiatan penelitiannya menjadi lebih urut dan sistematis
        akan dihasilkan sumber-sumber yang akurat sehingga penelitian tersebut tidak asal di buat.

BAB II
PEMBAHASAN


II. 1. PENGERTIAN METODE SEJARAH         

Dalam sejarah memang perlu adanya sebuah penelitian, karena sejarah adalah ilmu pengetahuan yang sistematis dari subjek yang pasti adanya.Sebuah penelitian pasti ada objeknya, objek penelitian sejarah adalah manusia, oleh karena itu sejarah termasuk ilmu pengetahuan sosial.Sebelum melakukan penelitian para sejarawan harus menggunakan metode penelitian.Dengan demikian metode sejarah dipandang sebagai alat atau sarana bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian dan penulisan sejarah.

Menurut definisi kamus Webster’s Third New International Dictionary of the English Language (selanjutnya disebut Webster’s), yang dimaksud dengan metode pada umumnya adalah:
1.     suatu prosedur atau proses untuk mendapatkan suatu objek...
2.     suatu disiplin atau sistem yang acap kali dianggap sebagai suatu cabang logika yang berhubungan dengan prinsip- pronsip yang dapat diterapkan untuk penyelidikan ke dalam atau eksposisi dari beberapa subjek...
3.     suatu prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang di pakai oleh atau yang sesuai untuk suatu ilmu (sains), seni,atau disiplin tertentu: metodologi...
4.     suatu rencana sisitematis yang diikuti dalam menyajikan materi untuk pengajaran..
5.     suatu cara memandang,mengorganisasi, dan memberi bentuk dan arti khusus pada materi-materi artistik (1) suatu cara, teknik atau proses untuk melakukan sesuatu...(Sjamsudin, 1996:1-2).

Sedangkan menurut Gilbert. J Garraghan (1975) bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan atau prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif. Menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hal-hal yang dicapai dalam bentuk tertulis. (Listiyani, 2009:52).

Menurut Louis Gottschalk, (1975) mengatakan metode sejarah adalah suatu kegiatan mengumpulkan, meguji dan menganalisa data yang diperoleh dari peninggalan-peninggalan masa lampau kemudian direkonstruksikan berdasarkan data yang diperoleh sehingga menghasilkan kisah sejarah. (Listiyani, 2009:52).

Jadi pengertian metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan atau prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumbersumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hal-hal yang dicapai dalam bentuk tertulis
II.2 TUJUAN METODE PENELITIAN SEJARAH

Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu :
1.     what (apa)
2.     when (kapan),
3.     where (dimana),
4.     who (siapa),
5.     why (mengapa), dan
6.     how (bagaimana).

Pertanyaan-pertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?

Metode atau langkah-langkah penelitian secara umum bertujuan untuk:
        memudahkan seorang peneliti untuk dapat melakukan penelitian dengan cara atau metode- metode yang tepat, sehingga proses penelitian tersebut berjalan dengan lancar tanpa kendala apapun.
        proses kegiatan penelitiannya menjadi lebih urut dan sistematis
        akan dihasilkan sumber-sumber yang akurat sehingga penelitian tersebut tidak asal di buat.

II.3 METODE ATAU LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN SEJARAH

Metode penelitian sejarah terbagi kedalam beberapa kelompok, yaitu pemilihan topik penelitian, studi pendahuluan, implementasi penelitian, heuristik, verifikasi / kritik, penafsiran/ interpretasi, historiografi. Berikut penjelasannya :

1.Pemilihan topik penelitian
            Sebelum melakukan peneliian sejarah, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan topik yang akan diteliti. Pemilihan topik sangat penting karena peneliti atau sejarawan akan lebih terarah dan terfokus kepada masalah yang akan ia teliti. Pemilihan topik harus memperhatikan hal-hal berikut :
a.     Topik harus menarik, dalam arti harus memiliki keunikan tersendiri. Topik yang menarik, dapat membuat peneliti menjadi lebih bersemangat dalam melakukan penelitian, juga hasil penelitian akan memuaskan.
b.     Subtansi masalah dalam topik tersebut haruslah memiliki arti penting. Penting dalam segi keilmuan juga penting dalam aspek kehidupan, yang dapat dimanfaatkan bersama.
c.      Masalah yang dicakup dalam topik tersebut memungkinkan untuk diteliti. Topik harus masuk akal dan sesuai dengan kaidah.
d.     Asli, artinya topik tersebut bukan pengulangan. Jika topik tersebut pernah dipakai oleh peneliti lain, maka itu dapat dikatakan sebagai sebuah plagiat. Itu berarti seorang peneliti kurang kreatif mencari sebuah topik.
e.     Ketersediaan sumber, artinya pastikan bahwa sumber- sumber dalam topik yang kita ambil, benar- benar ada, dan memungkinkan untuk dilakukan penelitian.
f.       Kedekatan emosional, lebih mendekatkan diri kepada sumber- sumber yang terlibat dalam peneitian, memperhatikan hal- hal yang berhubungan dengan lingkungan sekitar kita.

2. Studi Pendahuluan
            Studi ini peneliti mencari sumber utamanya yaitu sumber/ data yang memuat data tersebut secara relevan dengan topik penelitian dengan memahami sumber utama secara efektif, peneliti dapat memahami ruang lingkup dengan baik. Ruang lingkup tersebut akan dituangkan dalam rencana kerangka tulisan.

3. Implementasi Penelitian
            Pada dasarnya implementasi atau penerapan ini menitikberatkan pada sumber – sumber sejarahnya, yang merupakan pengimplementasian dalam kegiatan yang tercakup dalam metode sejarah yang telah ditentukan bersama.

4. Heuristik
            Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein, yang artinya memperoleh. Menurut G.J. Reiner (1997), heuristik adalah suatu teknik, mencari dan mengumpulkan sumber. Dengan demikian Heuristik adalah kegiatan mencari,menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Sumber penelitian sejarah banyak macamnya, maka dari itu perlu diklasifikasikan menurut jenisnya.Berdasarkan sifatnya, sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder.Sumber primer adalah sumber yang waktu pembuatannya tidak jauh dari waktu peristiwa terjadi, sumber sejarah ini adalah sumber yang benar- benar asli.Sumber sekunder adalah sumber yang waktu pembuatannya jauh dari waktu terjadinya peristiwa, sumber ini berupa garapan dari sumber yang asli. Menurut louis Gottschalk, sumber primer ialah kesaksian dari seorang saksi dengan mata dan telinganya sendiri melihat dan mendengar atau mengetahui dengan alat indera lain, saksi tersebut hadir saat peristiwa terjadi. Sedangkan sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yang melihat kejadian secara langsung.

Sedangkan berdasarkan bentuknya sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi:
1.     Sumber dokumenter yaitu keterangan tertulis yang berkaitan dengan peristiwa sejarah (berupa bahan sejarah dalam bentuk tulisan),. Contoh: prasasti, kronik, babad, piagam, dokumen, laporan, arsip, dan surat kabar.
2.     Sumber korporal yaitu benda-benda peninggalan masa lampau (berwujud benda, seperti bangunan, arca, perkakas, fosil, artefak dan sebagainya).
3.     Sumber lisan yaitu keterangan langsung dari pelaku atau saksi dari suatu peristiwa sejarah. Contohnya: cerita dari seseorang
4.     Sumber rekaman yaitu sumber yang berasal dari rekaman, dapat berupa kaset audio dan kaset video. Misalnya: rekaman proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945, masa pendudukan jepang.

Sumber sejarah atau peninggalan sejarah dapat dibagi kedalam peninggalan yang dapat di sengaja maupun yang tidak dapat di sengaja.
Peninggalan yang tidak di sengaja terdiri dari:
·       Bekas- bekas manusia
·       Sisa bangunan
·       Sisa – sisa keadaan masyarakat
·       Peninggalan dalam bentuk bahasa
·       Peninggalan dalam bentuk tulisan
Sedangkan peninggalan yang di sengaja diwariskan dengan tujuan untuk tanda peringatan kepada generasi penerusnya.Sumber sejarah ini dapat berupa penulisan piagam, dan berbagai monumen.Dalam pencarian sumber, seorang peneliti haruslah megetahui banyak hal tentang sesuatu yang akan ia teliti.
            Berhasil tidaknya pencarian sumber tentunya tergantung pada wawasan peneliti tersebut, agar pencarian sumber berlangsung secara efektif, perlu diketahui unsur- unsur penunjang heuristik , diantaranya :
§  Pencarian sumber harus berpedoman pada bibliografi kerja dan kerangka tulisannya.
§  Dalam mencari sumber- sumber di perpustakaan, peneliti wajib mengetahui dan memahami katalog yang bersangkutan dengan penelitian.
Metode heuristik adalah metode yang cermat untuk mengumpulkan jejak – jejak maupun dokumen – dokumen peristiwa yang terjadi masa lampau.Jejak – jejak ini merupakan bagian yang terpenting dan yang mendasar, yang digunakan sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya. Dalam pencarian jejak, seorang peneliti haruslah megetahui banyak hal tentang sesuatu yang sedang diteliti tersebut, agar memudahkan dalam proses penelitiannya.
Jejak ini biasanya ditemukan oleh masyarakat biasa atau bukan peneliti, misalnya patung dari sebuah kerajaan yang ditemukan oleh seorang petani yang sedang mencangkul di sawah, maupun saat penggalian lahan untuk perkebunan.Misalnya di daerah Gayam, Kediri pernah ditemukan arca- arca dari kerajaan yang berjumlah sekitar sepuluh arca. Biasanya setelah mengetahui adanya penemuan tersebut, peneliti akan meneliti lebih lanjut terhadap objek yang ditemukan.
dilihat dari pengumpulan datanya, ada dua jenis penelitian sejarah, yakni penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan.
a.      Penelitian Lapangan
Dalam melakukan penelitian ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Yaitu seorang sejarawan dapat langsung datang ke tempat terjadinya peristiwa bersejarah atau datang ke tempat penemuan peninggalan sejarah.
Jika peninggalan-peninggalan bersejarah itu sudah tersimpan di museum, maka seorang peneliti sejarah dapat melakukan penelitian di museum.Namun, jika seorang peneliti sejarah ingin mendapatkan keterangan langsung dari pelaku sejarah atau saksi sejarah yang masih hidup sebagai sumber lisan, maka peneliti sejarah dapat melakukan wawancara.

b.     Penelitian kepustakaan
Dalam melakukan penelitian kepustakaan seseorang peneliti sejarah memusatkan perhatiannya untuk memperoleh data tertulis (dokumen). Dokumen ini tersimpan di museum atau perpustakaan, seperti kitab-kitab kuno, kronik,arsip-arsip VOC, autobiografi, rekaman video, buku, surat kabar. Oleh karena itu, penelitian kepustakaan sering di sebut juga penelitian documenter. (Listiyani, 2009:55)

Prinsip-prinsip dalam penelitian sejarah lisan:
1.     Penelitian sejarah lisan adalah suatu penelitian yang sumber utamanya menggunakan lisan.
2.     Teknik yang digunakan dalam penelitian sejarah lisan menggunakan wawancara. Agar wawancara bias tuntas maka sebelumnya pewawancara bias menyiapkan seperangkat pertanyaan atau sebagai pedoman.
3.     Untuk mendapatkan data yang dipercaya lewat wawancara digunakan teknik kritik sumber. Sehingga datanya jadi lebih valid, dan bias di pertanggung jawabkan secara ilmiah.
4.     Setelah data terkumpul dan dilakukan interprestasi maka selanjutnyadilakukan historiografi/ penulisan suatu karya.

5.Verifikasi atau Kritik
Setelah sumber sejarah terkumpul, maka langkah berikutnya ialah verifikasi atau yang disebut juga dengan kritik sumber.Verifikasi atau kritik adalah suatu kegiatan menganalisa keaslian sumber- sumber yang telah di temukan. Ada dua cara yang dapat dilakukan yaitu melalui kritik ekstern dankritik intern. Kritik intern adalah penilaian keakuratan atau keautentikan terhadap materi sumber sejarah.
Didalam proses analisa terhadap suatu dokumen, sejarawan harus selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan didalam dokumen itu sendiri secara keseluruhan. Unsur didalam dokumen dianggap relevan dan dapat dipercaya (kredibel) apabila unsur itu paling dekat dengan apa yang telah terjadi. Identifikasi terhadap sipembuat dokumen atau sumber sejarah pun perlu dilakukan untuk menguji keautentikannya.

Langkah-langkah penilaian intrinsic adalah
1. menentukansifat sumber itu (apakah resmi/formal atau tidak resmi/informal). Dalam penelitian sejarah, sumber tidak resmi/informal dinilai lebih berharga daripada sumber resmi sebab sumber tidak resmi bukan dimaksudkan untuk dibaca orang banyak (untuk kalangan bebas) sehingga isinya bersifat apa adanya, terus terang, tidak banyak yang disembunyikan, dan objektif.

2. menyoroti penulis sumber tersebut sebab dia yang memberikan informasi yang dibutuhkan. Pembuatan sumber harus dipastikan bahwa kesaksiannya dapat dipercaya. Untuk itu, harus mampu memberikan kesaksian yang benar dan harus dapat menjelaskan mengapa ia menutupi (merahasiakan) suatu peristiwa, atau sebaliknya melebih-lebihkan karena ia berkepentingan di dalamnya.

3.  membandingkan  kesaksian dari berbagai sumber dengan menjajarkan kesaksian para saksi yang tidak berhubungan satu dan yang lain (independent witness) sehingga informasi yang diperoleh objektif. Contohnya adalah terjadinya peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.


Kritik ekstern umumnya menyangkut keaslian bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen, dan naskah. Untuk membedakan itu suatu tipuan dari dokumen asli, sejarawan dapat menggunakan pengujian yang biasa digunakan didalam penyelidikan polisi dan kehakiman, berikut penjelasannya :

1.      Keaslian Sumber (Otentisitas)

Peneliti melakukan pengujian atas asli tidaknya sumber, berarti ia
menyeleksi segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan. Bila sumber
itu merupakan dokumen tertulis, maka harus diteliti kertasnya, tintanya,
gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya, kata-katanya,
dan hurufnya.

2.       Kesahihan Sumber (Kredibilitas)

Pertanyaan pokok untuk menetapkan kredibilitas ialah “bukti-bukti
yang terkandung dalam sumber”. Sebagaimana telah dikemukakan
dalam uraian terdahulu, bahwa kesaksian dalam sejarah merupakan
faktor paling menentukan sahih dan tidaknya bukti atau fakta sejarah
itu sendiri.
 Menurut Gilbert J. Garraghan (1957), kekeliruan saksi padaumumnya ditimbulkan oleh dua sebab utama :
pertama, kekeliruandalam sumber informasi yang terjadi dalam usaha menjelaskan,menginterpretasikanatau menarik kesimpulan dari suatu sumber. Setiapusaha untukmenentukan faktor yang sebenarnya juga dapat denganmudah mengakibatkan kekeliruan.Kedua, kekeliruan dalam sumberformal.
Penyebabnya adalah kekeliruan yang disengaja terhadapkesaksian yang pada mulanya penuh kepercayaan; detail kesaksian tidakdapat dipercaya; dan para saksi terbukti tidak mampu menyampaikankesaksiannya secara sehat, cermat dan jujur. Atas semua penyebabkekeliruan ini, akan lebih tepat bila menelusuri kredibilitas sumberberdasarkan proses-proses dalam kesaksian.
Oleh karena itu, kritikdilakukan sebagai alat pengendalian atau pengecekan proses-prosesitu serta untuk mendeteksi adanya kekeliruan yang mungkin terjadi.

6. Interpretasi atau Penafsiran

Setelah memberikan kritik terhadap sumber, langkah berikutnya adalah interprestasi/penafsiran.Sejarah sebagai suatu peristiwa dapat diungkap kembali oleh para sejarawan melalui berbagai sumber, baik berbentuk data, dokumen perpustakaan, buku, berkunjung ke situs-situs sejarah atau wawancara, sehingga dapat terkumpul dan mendukung dalam proses interpretasi.
Interprestasi adalah menafsirkan fakata sejarah dan merangkai fakta tersebut hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal.Pada tahap ini dapat berlaku sifat subjektifitas, karena sejarawan akan melihat sumber sejarah dari sudut pandang yang berbeda.
Perbedaan penafsiran tersebut terjadi karena diantara para sejarawan memiliki pandangan, wawasan, ketertarikan, ideology, kepentingan, latar belakang sosial dan tujuan yang berbeda.Meskipun demikian rekontruksi peristiwa sejarah harus menghasilkan sejarah yang benar / mendekati kebenaran.

7. Historiografi

Langkah terakhir metode sejarah ialah historiografi, yakni merupakan cara pemaparan atau penulisan laporan hasil penelitian sejarah secara kritis dan imajinatif berdasarkan bukti- bukti atau data- data yang di peroleh. Data- data dan fakta-fakta tersebut dijadikan suatu kisah yang jelas dalam bentuk lisan maupun tulisan kedalam sebuah buku atatupun artikel.
Istilah historiografi di pergunakan dalam arti pengkajian secara kritis baik yang bersifat tradisional maupun modern. Penulisan hasil laporan hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari fase awal hingga akhir (penarikan kesimpulan).Selain itu, historiografi dapat diartikan merangkaikan fakta beserta maknanya secara kronologis dan sistematis menjadi sebuah tulisan sejarah ataupun kisah.
Kedua sifat uraian tersebut harus tampak karena merupakan bagian dari ciri karya ilmiah, sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu, juga perhatikan kaidah – kaidah penulisan karya ilmiah lainnya, diantaranya :
a.      Bahasa yang digunakan harus baik dan benar menurut kaidah dan bahasa yang bersangkutan.
b.     Memperhatikan konsistensi antara lain dalam hal penempatan tanda baca, penggunaan istilah- istilah dan penunjukan sumber.
c.      Istilah yang digunakan dan kata – kata tertentu harus digunakan sesuai dengan konteks permasalahan yang ada.
d.     Format penulisan harus sesuai dengan kaidah atau pedoman yang berlaku.


Ada tiga bentuk penulisan sejarah berdasarkan ruang dan waktu, yaitu:
a.      Penulisan sejarah tradisional, yaitu isinya kebanyakan tentang astana-sentris, magis-religius. Kebanyakan karya ini kuat dalam hal genealogi, tetapi tidak kuat dalam hal kronologi dan detail biografis. Tekanannya penggunaan sejarah sebagai bahan pengajaran agama.
b.     Penulisan sejarah colonial yaitu isinya tentang kehidupan belanda, penulisan ini memiliki ciri nederlandosentris (eropasentris), tekanannya pada aspek politik dan ekonomi serta bersifat institusional.
c.      Penulisan sejarah nasional yaitu berisi tentang sejarah di Indonesia. Penulisannya menggunakan metode ilmiah secara terampil dan bertujuan untuk kepentingan nasionalisme.
Kualitas karya ilmiah bukan hanya terletak pada masalah yang dibahas, tetapi ditunjukkan juga pada format penyajiannya.
Contoh dalam penulisan sejarah (historiografi), yaitu:
1.     Sejarah politik
Yaitu berisi tentang politik ekonomi yang ada di suatu Negara.
2.     Sejarah social
Yaitu berisi tentang kondisi masyarakat, kegiatan masyarakat, statifikasi masyarakat dari lapisan masyarakat tingkat atas sampai tingkat lapisan bawah.Di Indonesia prof. sartono kartodirdjo adalah pelopor dari sejarah social terkemuka.Jassa beliau sangat besar dalam melopori penulisan sejarahyang menggunakan pendekatan ilmu social.
3.     Sejarah ekonomi
Yaitu membahas tentang masalah perekonomian bangsa-bangsa dari zaman purba hingga sekarang.
4.     Sejarah kebudayaan
Yaitu membahas tentang hasil-hasil budaya manusia, dari masa lampau sampai sekarang. Semua perwujudan berupa struktur dan proses kegiatan manusia menurut dimensi etis dan estetis adalah kebudayaan.
5.     Sejarah etnis
Yaitu membahas tentang aspek-aspek social, kebudayaan, ekonomi, keperyaan dari masyarakat, intra-aksi dalam lingkungan kelompok, system kekerabatan, migrasi,perubahan social.
6.     Sejarah intelektual
Yaitu menekankan pada alam piker manusia pada masa lalu
7.     Sejarah pendidikan
Yaitu
8.     Sejarah keluarga
Yaitu berisi tentang silsilah keluarga.Sejarah keluarga ini tidak terbatas pada keluarga raja, tetapi juga dapat berkembang pada keluarga-keluarga pengusaha, industry, perdagangan.

BAB III

PENUTUP

III.1. RINGKASAN
Metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan atau prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumbersumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hal-hal yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Langkah -langkah dalam penelitian sejarah adalah:
1.     Pemilihan topik.
2.     Studi pendahuluan.
3.     Implementasi penelitian.
4.     Heuristik, yaitu mencari dan mengumpulkan subjek maupun jejak – jejak yang diperlukan dalam penelitian.
5.     Verifikasi atau kritik sumber. Dalam hal ini harus diuji keabsahan tentang keaslian sumber melalui kritik ekstern dan keabsahan tentang kesahihan sumber melalui kritik intern.
6.     Interpretasi, yaitu menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal.
7.     Historiografi, yaitu cara penulisan, pemaparan laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.


III.2. KESIMPULAN
            Penelitian harus berlandaskan pada kadah- kaidah metode sejarah.Penulisan sejarah ilmiah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi mengenai permasalahan yang dibahas.Eksplanasi tersebut diperoleh melalui sebuah analisis dan hasilnya dapat membantu penelitian dan pengembangan kebudayaan.Sejarah mengkaji aspek- aspek kehidupan manusia di masa lampau beserta kebudayaannya.

III.3. SARAN
Dari penjelasan di atas ,kami mengharapkan para peneliti sejarah sebelum melakukan penelitian tersebut agar mengikuti metode atau langkah-langkah penelitian sejarah guna penelitian tersebut dapat berjalan dengan lancar dan tanpa kendala apapun.


































DAFTAR RUJUKAN

Sjamsudin, H. 1994. Metodologi Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan DanKebudayaan.
Listiyani, D. A. 2009. Sejarah Untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: pusat                                                                                                  perbukuan departemen pendidikan nasional