1. Pembentukan
Awal Kota Yogyakarta.
Berdirinya kota Yogyakarta berawal dari
dibangunnya Keraton Yogyakarta. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Menurut Paeni (2009:264) menyatakan bahwa “Keraton Yogyakarta Hadiningrat
ini di bangun pada tahun 1755 oleh Hamengkubuwono I yang
bertahta di yogya atas setengah kerajaan mataram sebagai akibat dari perjanjian
giyanti”. Perjanjian Giyanti tersebut berlangsung pada
tanggal 13 Maret 1755, antara Pangeran Mangkubumi, Pakubuwono dan pihak Kompeni
(Nurhajirini, 2012:9). Mangkubumi kemudian memproklamasikan bahwa separuh dari
kerajaan Mataram yang dikuasainya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan
beribukota Ngayogyakarta. Yang memiliki arti masyarakat yang tinggal di
Ngayogyakarta ini sebagai orang yang berakhlak baik dan berhati tulus
(nurhajirini, 2012:9). Menurut Paeni (2009:264) menyatakan bahwa” beliau adalah
orang yang sangat cerdas dan berpengetahuan yang sangat luas, lima belas tahun
sebelumnya ia pernah terlibat dalam pembangunan keraton Surakarta hadiningrat”.
Maka ketika ia menjadi sultan, ia merencanakan suatu susunan perumahan yang
mencerminkan struktur social di bwah kedaulatan yang baru. Raja adalah pusat
dan satu-satunya sumber kekuatan, dalam keratin ia dikelilingi oleh keluarga dan
kerabat dekatnya. Lapisan berikutnya adalah para abdi setia yang terpilih dan
baru di luar itu orang kebanyakan. Menurut Aris (2013) akan menjelaskan
tentang tempat atau lokasi awal sebelum dibangunnya keraton Yogyakarta, yaitu
sebagai berikut.
Lokasi
keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini
digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura
dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain
menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum
menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Dalam pembangunan keraton ini tidak
hanya langsung dibuat begitu saja, tetapi ternyata pembangunanya juga
menggunakan berbagai pertimbangan menyangkut aspek strategis, keamanan, dan
social budaya (Nurhajirini, 2012:10). Hal ini dilakukan karena melihat
kenyataan bahwa keraton Surakarta yang dengan mudah dapat jatuh ketangan musuh
yang disebabkan karena tidak memiliki benteng pertahanan yang kuat. Adapun
letak keraton yang diapit oleh dua kembangan persungai mempunyai aspek teknis
bagi pertanian juga mempercepat resapan air hujan serta menguntungkan bagi
pemuatan drainase, sehingga bahaya banjir tidak akan terjadi. Menurut
Nurkajirini (2012:11) menyatakan bahwa.
Seting lokasi keraton secara filosofis
merupakan keseimbangan hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia,
dan manusia dengan. Dalam hal ini terdapat terdapat lima anasir pembentukan,
yakni api, dari gunung merap, tanah dari keraton ngayogyakarta, air dari laut
selatan, serta angina dan angkasa. Konsep symbol ini merupakan konsep filosofi
sangkan paraning dumadi (asal mulanya penciptaan) dan manunggaling kawula gusti
(manunggalnya kawula dan raja).
Dalam folosofis itu adalah panggung
krapyak-keraton-tugu pal pituh. Sedangkan dalam konsep agama islam, sumbu
filosofis itu mengandung arti konsep hubungan antara manusia dengan tuhan dan
konsep manusia dengan sesamanya. Tempat-tempat dalam satu sumbu filosofis itu
merupakan lokasi-lokasi yang penting dalam struktur kebudayaan keraton dan
masyarakat. Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta
memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara),
Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan,
Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung
Selatan). Bertahtanya sultan hamengkubuwono I
di kesiltanan Yogyakarta ini menjadi ciri lahirnya sebuah era kesulatan penerus
Dinasti Mataram. Menurut Nurhajirini (2012:15) menyatakan bahwa
Sri Sultan Hamengkubuwono I kemudian
memerintahkan untuk membangun berbagai kampong disekitar keratin sebagai tempat
tinggal para abdi dalem, prajurit dan
sebagainya. Pada mulanya pembangunan kampung tempat tinggal ini dilaksanakan di dalam benteng keraton, akan
tetapi karena luas lahannya tidak mencukupi maka ditempatkan diluar benteng
keraton dengan formasi tapal kuda.
Brokrasi pemerintahan disusun secara hirarkis
dari pusat daerah melaui pusat pejabat yang diangkat untuk melaksanakan tugas
pemerintahan kerajaan. Dan akhirnya Yogyakarta mampu berkembang menjadi salah
satu pusat kebudayaan Indonesia yang modern yang berlangsung hingga saat ini.
a. Batas Wilayah
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY dengan batas-batas wilayah, menurut Colombijn (2005:31-32) menyatakan bahwa:
Sebelah utara : Kabupaten Sleman.
Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Sleman.
Sebelah selatan : Kabupaten Bantul.
Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman.
Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 1100 240190 sampai 110o 280 530 Bujur Timur dan 070 150 240 sampai 070 490 260 Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan air laut (Colombijn , 2005:31-32).
b. Keadaan Alam.
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat. Di tengah wilayah kota tersebut mengalir 3 (tiga) buah sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :
Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong.
Bagian tengah adalah Sungai Code.
Sebelah barat adalah Sungai Winongo(Colombijn , 2005:31).
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY dengan batas-batas wilayah, menurut Colombijn (2005:31-32) menyatakan bahwa:
Sebelah utara : Kabupaten Sleman.
Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Sleman.
Sebelah selatan : Kabupaten Bantul.
Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman.
Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 1100 240190 sampai 110o 280 530 Bujur Timur dan 070 150 240 sampai 070 490 260 Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan air laut (Colombijn , 2005:31-32).
b. Keadaan Alam.
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat. Di tengah wilayah kota tersebut mengalir 3 (tiga) buah sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :
Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong.
Bagian tengah adalah Sungai Code.
Sebelah barat adalah Sungai Winongo(Colombijn , 2005:31).
c. Luas Wilayah.
Daerah keraton yogyakara merupakan daerah yang luas, yang mengalami
proses perubahan semenjak didirikannya kota tersebut hingga sekarang. Menurut Colombijn (2005:31-32)
menjelaskan kondisi yogyakarta antara lain.
Secara keseluruhan kota Yogyakarta
berada di daerah dataran lereng gunung merapi, dengan keiringan yang relative
datar (antara 0-3%) dan pada ketinggian 114m diatas permukaan air laut. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah 32,50 km2. Dengan luas 32,50 km2 tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45
Kelurahan, 617 RW (rukun warga), dan
2.532 RT (rukun tetangga), serta dihuni oleh 489.000 jiwa (data per Desember 1999) dengan
kepadatan rata-rata 15.000 jiwa/Km² .
Kedudukan kota Yogyakarta sejak kemerdakaan hingga masa kini yaitu
menjadi ibu kota Provinsi daerah
istimewa Yogyakarta yang di pimpin oleh Gubernur, dan masa kini dijabat oleh
Sultan Hamengku Buwono X.
d. Tipe Tanah.
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan) (Risma, 2012).
d. Tipe Tanah.
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan) (Risma, 2012).
e. Iklim
Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7% (Risma, 2012). Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam (Risma, 2012).
Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7% (Risma, 2012). Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam (Risma, 2012).
3. Ruang-Ruang
Yang Terkait Pada Keraton Yogyakarta.
Arsitek
kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Nurhajarini
(2012:39-40) menyatakan bahwa “tatkala pembangunan keraton dimulai Sultan
Hamengku Buwono I masih berada di pesanggrahan Gamping atau pesanggrahan
Ambarketawang (5 km di sebelah barat keraton). Pada tanggal 7 Oktober 1756,
sultan berkenan memasuli keraton dan kemudian ditandai dengan sengkalan dwi
naga rasa tunggal”. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain
dasar landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Kota sebagai
pusat kerajaan dibangun berdasarkan konsep tradisional yang diwarisi dari masa
sebelumnya (Nurhajarini, 2012:41). Selanjutnya pola konsentris tata ruang kota
demikian mewarnai tata ruang kota kerajaan islam di Jawa, termasuk Yogyakarta. Bangunan lain di tambahkan kemudian
oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini
sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).
Banyak yang mengatakan bahwasannya tata ruang maupun
tempat dari keraton Yogyakarta banyak yang memilki makna filosofi tersendiri. Berawal
dari sumbu lokasi bangunan yang menghubungkan Parangkusumo, Panggung Krapyak,
Keraton, Tugu dan Gunung Merapi berada pada satu garis lurus atau poros yang
membujur Selatan ke Utara. Sementara itu ada yang mengatakan bahwa garis yang
membujur Selatan-Utara tersebut sebagai “Poros Imaginer” dari dunia kebudayaan.
Namun pendapat ini tidak disetuui oleh Otto Sumarwoto. Kerena beliau dapat
membuktikan secara ilmiah tentang adanya garis lurus tersebut. Beliau
mengatakan bahwa arah poros Selatan-Utara ini sebagai “Poros Simbolik
Filosofis” Selatan Utara dari keratin Yogyakarta. Sekaligus manjadi arah awal
pertumbuhan kota, yang kemudian disusul dengan arah Timur-Barat ketika jaringan
trasportasi berkembang sejak abad ke 19 (Colombijn, 2005:34).
Seperti yang dikatakan oleh Colombijn (2005:34),”
lurus dengan keraton dan jalan raya Malioboro terdapat tugu yang disebut
sebagai “Tugu Golong-Giling”, yang
memiliki makna simbolis dari konsep manunggaling
kawulo-gusti, yaitu konsep persatuan antara rakyat dan raja dalam
perjuangan melawan Belanda”. Selain tempat-tempat tersebut yang memiliki makna
filosofi ada juga tempat – tempat lain yang memiliki makna filosofi
diantarannya:
3.1 Alun-Alun.
Alun-alun merupakan suatu tempat atau ruang
terbuka yang bisa digunakan sebagai fasilitas umum. Keberadaan alun-alun
sebagai simbol otokrasi Jawa Kuno dengan pola tata kota feodal. Alun-alun akan
jadi jantung kota, karena untuk pola tata kota otokrasi Jawa Kuno alun-alun
selalu berhadapan dengan kraton, rumah tinggal adipati atau bupati. Bagi masyarakat Jawa
alun-alun melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan
yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu juga dengan konsep kerajaan
besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan besarnya, dan membelakangi
gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009).
Konsep
inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu
kota di Jawa. Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa
Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan
Yogyakarta. Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari
kehadiran alun-alun di masa lampau. Di masa lalu sejak
jaman Majapahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian
dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu
merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. tempat
tinggal raja yang biasa disebut sebagai dalem
ageng diibaratkan sebagai puncak Mahamer
egara agung dinamakan kawasan mancanegara
(luar daerah). Di masa lalu alun-alun di u (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah
kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di
luarnya disebut negara agung (negara
besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa
besar. Di luar n Yogyakarta terbagi menjadi dua
yaitu, alun-alun lor dan alun-alun kidul.
Alun-alun
Lor adalah sebuah lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta. Menurut Sugiyanto (2011)
menyatakan sebagai berikut.
Alun-alun Lor
Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265
meter dikelilingi oleh dinding pagar yang
cukup tinggi. Di tengahnya terdapat dua buah pohon
beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan
jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya.
Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon
beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang
Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku
kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui,
melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Sugiyanto, 2011).
Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana,
karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos.
Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia
dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin
melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu
mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya
harmoni dengan hukum universum (Sugiyanto, 2011).
Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian
selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang
tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum. Di pinggir Alun-alun ditanami
deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan di
tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang
disebut dengan Waringin
Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi
nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada zamannya selain
Sultan hanyalah Pepatih Dalem yang boleh melewati/berjalan di antara
kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena
rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" saat Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas
kebijakan pemerintah. Pegawai/abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk
mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang
duduk di Siti Hinggil. Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat
terdapat pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah
Mancanegara Kesultanan. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi
dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang
sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran. Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai
tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg
serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan
sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga
melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar,
tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak
bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
Alun-alun
Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta.
Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal
dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Menurut
Brian menyatakan bhwa “dua pohon beringin ditengah-tengah alun-alun
ini menggambarkan bahagian badan yang paling rahasia, sehingga diberi pagar
batu. Disekitar alun-alun ini terdapat lima buah jalan yang bersatu satu sama
lain, menunjukkan pancaindra”. Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak
di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang
memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat
masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat
terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di
sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae),
pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera
odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua
pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang
(harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang
dinamakan Wok (dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan
Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.
3.3. Masjid Gedhe Kasultanan.
Setiap kompleks keraton di Jawa sudah tentu dibangun pula
sebuah masjid. Masjid adalah tempat sujud artinya tempat orang bersembahyang
menurut peraturan islam (Soekmono, 1973:75). Pada dasarnya masjid masjid
digunakan untuk menunaikan ibadah termasuk salat, dan juga menjadi pusat
kegiatan dan kehidupan masyarakatnya misalnya sebagai sarana pendidikan, sarana
sosiaisasi dan tempat berunding. Masjid yang tertua di Yogyakarta adalah
bernama Masjid Gedhe Kasultanan.
Kompleks
Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta
terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Didirikannya masjid gedhe
disebelah alun-alun ini memiliki maksud tertentu. Menurut Soekmono (1973:78)
menyatakan maksud letak masjid antar lain sebagai berikut.
Yaitu kalau alun-alun adalah
tempat bertemunya rakyat kepada raja, walaupun secara tidak langsung. Maka
masjid adalah tempat bersatunya raja dengan rakyat sebagai sesama makhluk ilahi.
Disini mereka melaksanakan kewajiban mereka, yaitu sembahyang dibawah pimpinan
seorang imam. Maka dalam di alun-alunlah raja itu bertemu dengan rakyatnya.
Sehingga dari penjelasan Soekmono masjid ini
sebagai tempat bertemunya dan berinteraksinya raja dengan masyarakatnya. Adapun
tempat sembahyang lima waktu yang biasanya digunakan sehari-hari disamping
masjid, yaitu dinamakan langgar atau surau. Dalam pokoknya masjid dan surau itu
memiliki bentuk dan susunan yang sama yaitu sebuah bangunan yang melingkupi
sebuah ruangan bujur sangkar dengan sebuah serambi didepannya. Arsitektur bangunan induk masjid ini berbentuk tajug persegi tertutup
dengan atap bertumpang tiga. Menurut Sartono (2012) menyatakan bahwa “tiga
tingkatan yang demikian itu dipercaya merupakan simbolisasi dari syariat,
tarekat, dan hakekat. Atas dianggap sebagai Sedangkan bagian paling lambang makrifat”. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di
sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu,
mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar
yang disebut maksura. Maksura ( tempat pengamanan sholat raja ) letaknya
di samping kiri belakang mihrab, terbuat dari kayu jati bujur sangkar, beram kotak-kotak, di
samping kanan dan kiri terdapat tempat tombak dan di dalamnya berlantai marmer lebih tinggi dari
yang di luar.Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan
melakukan ibadah.
Selain digunakan untuk melaksanakan ibadah masjid ini juga digunakan untuk
pelaksanaan upacara adat keraton seperti Grebeg Sawal, mulud dan grebeg besar,
yang selalu diminati oleh masyarakat hingga sekarang (Nurhajarini, 2012:42). Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya
dapat dilihat pada atap yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua,
yaitu inti dan serambi.
Serambi
masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat
lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi
dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi
terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang
hendak masuk masjid
Di sebelah utara dan selatan halaman (timur
laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak
tinggi yang dinamakan Pagongan ( Pa= tempat, Gong= salah satu instrumen alat musik Jawa Gamelan) (darban:2009). Tempat ini digunakan sebagai
tempat peralatan dakwah dengan pendekatan kultural yaitu Gamelan Sekaten, yang
dibunyikan pada setiap peringatan Maulid nabi Muhammad Saw. Pagongan di timur laut masjid disebut
dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan
Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan
untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan
Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Selain itu terdapat
Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu di sebelah utara
masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.
3.4. Pasar Bering Harjo
Pasar merupakan tempat jual beli barang atau pusat perdagangan segala
kebutuhan penting sehari-hari. Pasar Bering Harjo merupakan salah satu pusat ekonomi Kesultanan Yogyakarta
pada zamannya. Pasar ini tidak lepas dari susunan kompleks
bangunan keraton Yogyakarta yang tidak jauh berbeda dengan susunan kompleks keraton
lama seperti Kotagede, Kartasura, Surakarta, dan lain-lain. Keraton yang
dibangun dengan konsep catur gatra
tersebut memiliki empat komponen utama yakni keraton, alun-alun, masjid dan
pasar (Nurhajarini, 2009:43). Keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun
sebagai pusat ruang publik, masjid sebagai ruang religi dan pasar sebagai ruang
ekonomi. Menurut Indra (2011) menyatakan bahwa “secara penempatan, Pasar
Beringharjo berada di bagian luar bangunan Keraton Yogyakarta (njobo keraton),
tepatnya di utara Alun-alun Utara. Wilayah ini kemudian dijadikan tempat
transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Pasar yang telah
berkali-kali dipugar ini melambangkan satu tahapan kehidupan manusia yang masih
berkutat dengan pemenuhan kebutuhan ekonominya.
Wilayah Pasar Beringharjo mulanya merupakan hutan
beringin. Tak lama setelah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
tepatnya tahun 1758, wilayah pasar ini dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh
warga Yogyakarta dan sekitarnya. Ratusan tahun kemudian, pada tahun 1925,
barulah tempat transaksi ekonomi ini memiliki sebuah bangunan permanen. menurut Rama (2013) menyatakan bahwa
“Pasar Beringharjo memiliki luas hingga 2,5 hektar”. Nama
Beringharjo sendiri diberikan oleh Hamengku Buwono IX, artinya wilayah yang
semula pohon beringin (bering) diharapkan dapat memberikan kesejahteraan
(harjo) (Indra:2011). Sekalipun pasar tradisional namun bagi
masyarakat Yogyakarta, pasar ini tidak mungkin akan tergusur oleh kehadiran banyak mall-mall yang kini
bermunculan di Yogja. Keberadaannya justru semakin menegaskan kekhasan Yogja
sebagai kota yang klasik, romantis namun tidak ketinggalan zaman. Pasar ini
memiliki sejarah yang cukup panjang di dalam perkembangan kota Yogyakarta
sendiri.
Bagian depan dan belakang bangunan pasar sebelah barat merupakan tempat
yang tepat untuk memanjakan lidah dengan jajanan pasar. Banyak sekali makanan yang dijual
disini, dari makanan tradisional Indonesia sampai makanan ringan yang
diproduksi perusahaan besar, yaitu terlihat deretan makanan dari ujung utara
hingga selatan. Koleksi batik kain dijumpai di los pasar
bagian barat sebelah utara. Berjalan ke lantai dua pasar bagian timur merupakan pusat
penjualan bahan dasar jamu Jawa dan rempah-rempah. Sedangkan di lantai tiga bagian timur merupakan
tempat menjual barang-barang antik.
Meski pasar resmi tutup pukul 17.00 WIB, tetapi dinamika pedagang tidak
berhenti pada jam itu. Bagian depan pasar masih menawarkan berbagai macam
panganan khas (Indra:2011). Dengan adanya
Pasar Beringharjo telah membawa perubahan yang cukup berarti
dalam hal ekonomi seperti mata
pencaharian penduduk sekitar Pasar Beringharjo. Melihat dari segi perkembangan
perekonomian yang akan dibawa dengan adanya Pasar Beringharjo di daerah Yogyakarta, perekonomian yang terjadi pada
masyarakat sekitar maupun dari pedagang secara berkala pasti akan mengalami
perkembangan. Hal ini akan membawa dampak yang lebih luas lagi pada pedapatan
daerah Yogyakarta. Memandang dari bentuk proses yang terjadi, keterbukaan serta
peran serta masyarakat dalam menanggapi adanya wacana sarana baru ini juga akan
mengubah cara pandang masyarakat mengenai interaksi yang terjadi diantara
pengunjung maupun masyarakat sekitar. Pengunjung Pasar Beringharjo yang tidak hanya berasal dari
Yogyakarta namun juga dari mancanegara yang akan membawa dampak berupa
kemampuan yang harus dimiliki oleh masyarakat sekitar, seperti menuntut mereka untuk berlatih bahasa asing
atau secara umum bahasa Inggris (Indra:2011).
a. Sejarah dan Arti Bangunan Taman Sari
Bangunan taman sari merupakan bangunan yang dibangun pada masa
kesultanan Hamengkubuono I. Cerita tentang pembangunan
pesanggrahan taman sari ada dua macam. Adapaun cerita pertamanya adalah
srebagai berikut:
Bahwa semasa yang memegang tampuk
pimpinan keratin ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengkubuono II di
daerah Mancingan di pantai selatan daerah Yogyakarta, terdapat orang tiban ialah
orang asing tang tahu-tahu tanpa diketahui asal usulnya terdapat di pantai
selatan Yogyakarta. Masyarakat didaerah sekitarnta tidak mengetahui bahsa yang
digunakannya oleh karna itu ada yang mengira dia adalah jin atau penghui
hutan,. Kemudian masyarakat setempat membawa orng tersebut kepada Sri Sultan HB
II. Setelah lama mengabdi akhirnya ia mampu berbahasa jawa dan mengatakan bahwa
ia bersal dari portugis dan pekerjaannya mengepalai pembuatan bangunan. Pada dasarnaya
bangunan ini bangunan yang digunakan untuk bercengkrama, atau hanya tempat
untuk berekreasi saja. Namun meliahat dari segi bangunannya yang didalamnya
terdapat lorong – lorong dalam tanah mungkin bangunan ini dulunya bukan hanya
sebagi taman untuk menghibur diri tapi bisa juga untuk bersembunyi. Seperti
yang di katakan oleh Sukirman 1981-1982:12.
Apabila diteliti dengan seksama wujudan Pesanggrahan Taman
Sari tidak meninggalkan ungkapan bahsa jawa yang berbunyi : sakjroning
among suka, tan tinggal duka lan prayoga yang berati “sewaktu orang bersuka
ria, seyognya tidak boleh lengah akan datangnya mara bahaya, jadi harus
waspada”. Sebab setelah kita bersuka ria yang tidak terbatas itu akan
menimbulkan suatu kesusahan. Namum kalau kita perhatikan taman ini tidak hanya
digunakan sebagi taman untuk bersenag – senag saja. Tapi dapat kita temui bahwa
didalam bangunan ini juga terdapat “urung – urung” atau jalan bawah tanah, pulo
cemethi yang berfungsi untuk tempat peninjauan apabila ada musuh, dan jembatan
gantung, dari sini dapat terlihat dengan elas bahwa tamn ini bukan hanya
sekedar untuk bercengkrama saja.
b. Fungsi
Bangunan Pesanggrahan Taman Sari
a) Taman
Sari sebagi tempat rekreasi keluarga kerajaan.
Disinilah Raja bersama keluarganya
bersenang – senang mengahabiskanwaktu untuk berenang dipemandian dan juga
bermeditasi. Selain Raja, Ratu dan juga selir – selirnya sering menghabiskan
waktu ditempat ini. Fungsi taman sari sebagi tempat rekreasi ini sangat
terlihat, karena terdapat beberapa kolam pemandian, kamar – kamar dan juga
kebun dan taman.
b) Taman
Sari sebagi benteng pertahanan.
Taman sari dibangun juga berfungsi
sebagi benteng perthanan. Di Taman Sari inilah raja melakukan meditasi,
menyusun statregi perang, dan berlatih. Tempat ini dilengkapi dengan benteng
pertahanan, menara pengawas dan tak kalah pentingnya adalah lorong – lorong
bawah tanah.
3.5. Panggung
Krapyak.
Panggung
krapyak dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I dan saat ini merupakan benda cagar
budaya. Bangunan ini berada di sebelah
selatan Keraton dan menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta.Panggung krapyak erat
kaitannya dengan sejarah berdirinya Keraton Kesultanan Yogyakarta. Panggung
krapyak merupakan salah satu bangunan yang berada pada sumbu filosofis
utara-selatan dengan keraton sebagai pusatnya. Menurut Nurhajarini (2012:12)
menjelaskan sebagai berikut.
Dalam sumbu filsofis itu
adalah panggung krapyak-keraton-tugu pal putih. Panggung krapyak merupakan
simpul yang berada selatan jika diteruskan akan sampai ke pantai selatan
samudera hindia. Dari tugu pal putih jika diteruskan ke utara akan sampai ke
gunung merapi. Sumbu filosofis ini mengndung arti manunggaling kawula gusti
atau bersatunya rakyat dengan rajanya.
Panggung krapyak merupakan sebuah podium dari batu bata dengan tinggi 4
m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya mencapai 1 m. Bangunan ini
memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu di bagian dalam. Atap
bangunan dibuat datar dengan pagar pembatas di bagian tepinya. Untuk
mencapainya tersedia tangga dari kayu di bagian barat laut. Bangunan bertingkat
ini disekat menjadi 4 buah ruang. Fungsi bangunan ini pada masa lalu adalah untuk
tempat beristirahat sultan beserta keluarganya dan pengiringnya sewaktu berburu
kijang, rusa atau hewan buruan lainnya di hutan. Hutan tersebut berada
disebelah sebelah selatan panggung. Kijang-kijang yang berada di hutan
dipelihara dan pada waktu-waktu tertentu kijang itu digiring (krapyak). Bangunan ini lebih mirip dengan
gerbang kemenangan, Triumph d’Arc. Kondisinya sempat memprihatinkan
akibat gempa bumi tahun 2006 sebelum akhirnya direnovasi. Setelah renovasi
bangunan ini diberi pintu besi sehingga orang-orang tidak dapat masuk
kedalamnya.
Dalem Kepatihan
Dalem
Kepatihan merupakan tempat kediaman resmi (Official residence) sekaligus
kantor Pepatih Dalem. Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan
kegiatan pemerintahan sehari-hari kerajaan. Dahulu tempat ini merupakan
kompleks tempat tinggal Patih Danuharjo yaitu Patih Keraton Yogyakarta.
Kompleks ini cukup luas dan memiliki susunan ruang sama dengan rumah para
bangsawan tinggi bahkan dapat dikatakan sebagai miniatur dari keraton sultan.
Dalem kepatihan sekarang digunakan sebagai kantor Gubernur Propinsi DIY, yang
terletak di Jalan Malioboro, di sebelah utara pasar Beringharjo (Nurhajarini,
2012:45). Sejak
tahun 1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan Yogyakarta ini menjadi kompleks
kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan PemProv DIY. Selain Pendopo
Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong Wilis
(kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai gedung pengadilan
Bale Mangu, sebuah badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan
peradilan umum), dan Masjid Kepatihan. Sekarang tempat ini memiliki pintu utama
di Jalan Malioboro.